BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta
adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan
adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang
Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman
adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau
penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk
media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu
Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan
adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan
maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan
yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara
permanen atau temporer.
7. Potret
adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian
tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa
pun.
8. Program
Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun gkan
dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak
Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak
eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan
pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau
menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi
Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya
siarannya.
10.Pelaku
adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan,
menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik,
drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
11.Produser
Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam
dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau
perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perek
aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12.Lembaga
Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan
hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan
menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem
elektromagnetik.
13.Permohonan
adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon
kepada Direktorat Jenderal.
14.Lisensi
adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak
Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak
Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
15.Kuasa
adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-undang ini.
16.Menteri
adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan
Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17.Direktorat
Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang
berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
Lingkup
Hak Cipta
BAB
II
LINGKUP
HAK CIPTA
Bagian
Pertama
Fungsi
dan Sifat Hak Cipta
Pasal
2
(1) Hak
Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembata
san menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pencipta
dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program
Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain
yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal
3
(1) Hak
Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
(2) Hak
Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian
karena:
a.
Pewarisan;
b.
Hibah;
c.
Wasiat;
d.
Perjanjian tertulis; atau
e.
Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
4
(1) Hak
Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal
dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan
Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh
secara melawan hukum.
(2) Hak
Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya
meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima
wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak
itu diperoleh secara melawan hukum.
Bagian
Kedua
Pencipta
Pasal
5
(1) Kecuali
terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
a.
orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada
Direktorat Jenderal;
b.
orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali
terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan
tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang
berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal
6
Jika
suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan
oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang
yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau
dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta
adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta
masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
Pasal
7
Jika
suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh
orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang,
Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
Pasal
8
(1) Jika
suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk
dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian
lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila
penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang
dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan
dinas.
(3) Jika
suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan,
pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan
Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua
pihak.
Pasal
9
Jika
suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya
dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum
tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti
sebaliknya.
Bagian
Ketiga
Hak
Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui
Pasal
10
(1) Negara
memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan
benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara
memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang
menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan
karya seni lainnya.
(3) Untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang
yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin
dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
11
(1) Jika
suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum
diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.
(2) Jika
suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya
atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya,
penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan
Penciptanya.
(3) Jika
suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya
dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
Bagian
Keempat
Ciptaan
yang Dilindungi
Pasal
12
(1) Dalam
Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a.
buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b.
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c.
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d.
lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e.
drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan
g.
arsitektur;
h.
peta;
i.
seni batik;
j.
fotografi;
k.
sinematografi;
l.
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain
dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan
tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua
Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu
bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya
itu.
Pasal
13
Tidak
ada Hak Cipta atas:
a. hasil
rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan
perundang-undangan;
c. pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan
pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan
badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Pembatasan
Hak Cipta
Bagian
Kelima
Pembatasan
Hak Cipta
Pasal
14
Tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. Pengumuman
dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut
sifatnya yang asli;
b. Pengumuman
dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau
diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta
itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan
maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan
itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan
berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan
ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pasal
15
Dengan
syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan
Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar
dari Pencipta;
b. pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i)
ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau
(ii)
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan
suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf
braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu
bersifat komersial;
e. Perbanyakan
suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara
atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum,
lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang
nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan
salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer
yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Pasal
16
(1) Untuk
kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian
dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:
a.
mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan
dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b.
mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin
kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan
tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak
melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c.
menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan
Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban
untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya
Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut
belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban
untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah lewat jangka waktu:
a.
3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan
ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di
wilayah Negara Republik Indonesia;
b.
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan
buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik
Indonesia;
c.
7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan
buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik
Indonesia.
(4) Penerjemahan
atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia
dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
(5) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) huruf b dan huruf c
disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(6) Ketentuan
tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau
memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal
17
Pemerintah
melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan
Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar
pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal
18
(1) Pengumuman
suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan
nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan
dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan
kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
(2) Lembaga
Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga
Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran
selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang
layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Proses
Pendaftaran HAKI
BAB
IV
PENDAFTARAN
CIPTAAN
Pasal
35
(1) Direktorat
Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam
Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar
Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai
biaya.
(3) Setiap
orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari
Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan
tentang pendaftar an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal
36
Pendaftaran
Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai
pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang
didaftar.
Pasal
37
(1) Pendaftaran
Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang
diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
(2) Permohonan
diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang
ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau
penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal
akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung
sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar
pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan
mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan
terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan
lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Pasal
38
Dalam
hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan
hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan
tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang
membuktikan hak tersebut.
Pasal
39
Dalam
Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama
Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal
penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal
lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor
pendaftaran Ciptaan.
Pasal
40
(1) Pendaftaran
Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya Permohonan
oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal 37, atau pada
saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan Pasal
38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi
Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal
41
(1) Pemindahan
hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut Pasal 39 yang
terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika seluruh Ciptaan
yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.
(2) Pemindahan
hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan
tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai
biaya.
(3) Pencatatan
pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh
Direktorat Jenderal.
Pasal
42
Dalam
hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat
mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal
43
(1) Perubahan
nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang namanya
tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu
dengan dikenai biaya.
(2) Perubahan
nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi
Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal
44
Kekuatan
hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan
atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31
dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan
batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
UU
NO. 36 (TELEKOMUNIKASI)
Azaz
dan Tujuan Telekomunikasi
BAB
II
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,adil dan merata,kepastian
hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal
3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil
dan merata,mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan,serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan
Komunikasi
BAB
IV
PENYELENGGARAAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
7
(1) Penyelenggaraan
telekomunikasi meliputi :
a.
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b.
penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c.penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.
(2) Dalam
penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut
:
a.
melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b.
mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c.
dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d.
peran serta masyarakat.
Bagian
Kedua
Penyelenggara
Pasal
8
(1) Penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b
dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud
tersebut berdasarkan peraturan perundang- undangan yang
berlaku, yaitu :
a.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.
badan usaha swasta; atau
d.
koperasi.
(2) Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c dapat dilakukan oleh :
a.
Perseorangan
b.
instansi pemerintah;
c.
badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
9
(1) Penyelenggara
jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelengara
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa
jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
(3) Penyelenggara
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a.
keperluan sendiri;
b.
keperluan pertahanan keamanan negara;
c.
keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a.
perseorangan;
b.
instansi pemerintah;
c.
dinas khusus;
d.
badan hukum.
(5)Ketentuan
mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Penyidikan
BABV
PENYIDIKAN
Pasal
44
(1) Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen yang
Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c.
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka;
e.
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang
diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
g.
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang
digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
h.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang telekomunikasi; dan .
i.
mengadakan penghentian penyidikan
(3) Kewenangan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diiaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Sanksi
Administrasi dan Ketentuan Pidana
BAB
VI
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal
45
Barang
siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal
19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29
ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat
(2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal
46
(1) Sanksi
admiriistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan
izin.
(2) Pencabutan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
BAB
VII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal
50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
51
Penyelenggara
telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal
52
Barang
siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang
tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal
53
(1) Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling Iama 15
(lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
55
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal
57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat
dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56
dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
59
Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50,
Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal
57 adalah kejahatan.
RUU
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) PERATURAN LAIN YANG
TERKAIT (PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INTERNET BANKING)
A.
Pendahuluan
Saat
ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari
hampir seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan dimana
hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan
secara elektronik (paperless).
Perkembangan
teknologi informasi tersebut telah memaksa pelaku usaha mengubah
strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama
dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic
transaction (e-banking) melalui internet banking merupakan salah satu
bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah
pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh
teknologi.
Internet
banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat
Indonesia khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal
tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan nasional yang
menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan
internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
informasi, dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya
transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di sisi lain
membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, keamanan
menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor
keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat
ditonjolkan oleh pihak bank.
Salah
satu risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet
banking adalah internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam
internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban,
yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki
kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang
memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah.
Oleh
karena itu perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking
antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet banking,
adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking dan
pemberian informasi yang jelas kepada user.
B.
Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah
satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2004 adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka
pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
a. Menetapkan
peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang
memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
b. Memberikan
dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari
bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor
bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
c. Melaksanakan
pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
d. Mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
e. Pelaksanaan
kewenangan tugas-tugas tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Terkait
dengan tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi bank, salah satu
upaya untuk meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh Bank
Indonesia adalah melalui pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan
hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan serangkaian Peraturan
Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang harus dipatuhi
oleh dunia perbankan antara lain mengenai penerapan manajemen risiko
dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan penerapan prinsip
Know Your Customer (KYC).
1.
Manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking
Peraturan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau
manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP,
tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking).
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank
yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan
manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara efektif.
b. Penerapan
manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan,
prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan
Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet
(Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran
Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok
penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan
internet banking adalah:
1)
Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
-Komisaris
dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko
yang terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan
akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola
risiko tersebut.
-Direksi
harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari
prosedur pengendalian pengamanan bank.
2)
Pengendalian pengamanan (security control)
-Bank
harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian
(otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan
transaksi melalui internet banking.
-Bank
harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin
bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation)
dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
-Bank
harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet
banking, database dan aplikasi lainnya.
-Bank
harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses
(privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking, database
dan aplikasi lainnya.
-Bank
harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi
integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet
banking.
-Bank
harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang
jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
-Bank
harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan
informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus
sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau
disimpan dalam database
3)
Manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
-Bank
harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang
memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat
mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi
melalui internet banking.
-Bank
harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan
kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara
tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
-Bank
harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan
usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa
internet banking.
-Bank
harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola,
mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian
yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat
menghambat penyediaan sistem dan jasa internet banking.
-Dalam
hal sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak
ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur
pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk
mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.
2.
Penerapan prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya
lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir
terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah pengaturan
kewajiban bagi bank untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau
yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your Customer (KYC).
Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran
Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang Penilaian
dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan
Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip
Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui
identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk
pelaporan transaksi yang mencurigakan.
b. Dalam
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1)
Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah.
2)
Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
nasabah.
3)
Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi nasabah.
4)
Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait
dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, maka:
1)
Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta
informasi mengenai identitas calon nasabah, maksud dan tujuan
hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank,
informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil
calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon nasabah
bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah
tersebut harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank
wajib meneliti kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2)
Bagi bank yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan
jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah
sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening.
d. Dalam
hal calon nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak
lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, bank wajib memperoleh
dokumen-dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum, penugasan
serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak
lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas
beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha
dengan calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen
pendukung nasabah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Bank juga wajib
melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap
dokumen-dokumen pendukung tersebut.
e. Bank
wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.
f. Bank
wajib memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi
informasi mengenai pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan,
rekening lain yang dimiliki, aktivasi transaksi normal dan tujuan
pembukaan rekening.
g. Bank
wajib memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
sekurang-kurangnya mencakup:
1)
Pengawasan oleh pengurus bank (management oversight).
2)
Pendelegasian wewenang.
3)
Pemisahan tugas.
4)
Sistem pengawasan intern termasuk audit intern.
5)
Program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah.
h. Bank
Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal
Nasabah/KYC dan Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
dimana penilaian tersebut dilakukan secara kualitatif atas
faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
3.
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Transparansi
Produk Bank
Regulasi
lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya
meminimalisir internet fraud adalah regulasi mengenai penyelenggaraan
kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), mengingat
APMK merupakan alat atau media yang sering digunakan dalam kejahatan
internet fraud. Ketentuan mengenai penyelenggaraan APMK terdapat
dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005
tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta
Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun
pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran
yang berupa kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu prabayar dan
atau yang dipersamakan dengan hal tersebut.
b. Bagi
bank dan lembaga bukan bank yang merupakan penyelenggara APMK harus
menyerahkan bukti penerapan manajemen risiko.
c. Penerbit
APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat
kejahatan terkait dengan APMK dan sekaligus untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap APMK.
d. Peningkatan
keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi
yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan
pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada kartu kredit.
Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai
transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi
nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi nasabah terhadap produk bank
dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap berbagai risiko
termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang
Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah.
Pokok-pokok
pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain sbb:
a. Bank
wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan
penggunan Data Pribadi Nasabah.
b. Bank
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau
tidak etis (misconduct).
c. Informasi
Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama produk, jenis produk,
manfaat dan resiko produk, persyaratan dan tatacara penggunaan
produk, biaya-biaya yang melekat pada produk, perhitungan bunga atau
bagi hasil dan margin keuntungan, jangka waktu berlakunya Produk
Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk Bank.
d. Bank
wajib memberikan informasi kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko
pada setiap produk bank, dimana bank harus menjelaskan secara terinci
setiap manfaat yang diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan
potensi risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam masa penggunaan
produk bank.
C.
Rahasia Bank
Salah
satu hal penting dalam memproses pelaku internet fraud adalah
pembukaan rahasia bank untuk memperoleh keterangan simpanan milik
pelaku internet fraud tersebut, dimana keterangan tersebut dapat
dijadikan salah bukti oleh aparat penegak hukum untuk keperluan
persidangan pidana.
Ketentuan
mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis
Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya
setiap Bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya (Rahasia Bank). Sedangkan
keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, tidak
wajib dirahasiakan.
Terhadap
Rahasia Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari
pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian
piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana
dimana status nasabah penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus
tersangka atau terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat juga disimpangi
tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni untuk
kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar
menukar informasi antar bank, atas permintaan/persetujuan dari
nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam
hal diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama
seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka
atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan
Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank, dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan
izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun
demikian untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanan nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut
Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai
pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan izin terlebih dahulu dari
pimpinan Bank Indonesia.
D.
Urgensi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung
hukum setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan
di dunia maya hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal
terjadi tindak pidana kejahatan di dunia maya, untuk penegakan
hukumnya masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni
mengenai pemalsuan surat (Pasal 263), pencurian (Pasal 362),
penggelapan (Pasal 372), penipuan (Pasal 378), penadahan (Pasal 480),
serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan
tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di
dunia maya (cybercrime) yang modus operandinya terus berkembang.
Selain itu dalam penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala
antara lain dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat bukti
elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP tidak
sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban, misalnya pada
kasus internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan adalah
Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat)
tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai
miliaran rupiah.
Terkait
dengan hal-hal tersebut di atas, kehadiran Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang
Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor
penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes serta dapat
memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrimes sehingga
akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu hal yang
penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang
cybercrimes dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law
enforcement.
Adapun
Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer Dana saat ini
telah diajukan oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di DPR
RI, dimana dalam hal ini Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber
khususnya untuk materi yang terkait dengan informasi dan transaksi
keuangan.
E.
Penutup
Upaya
yang dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya
kejahatan internet fraud di perbankan adalah dengan dikeluarkannya
serangkaian peraturan perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank
Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan
perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam aktivitas internet
banking, menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your Customer
Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya dalam
rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan
menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan
Data Pribadi Nasabah.
Lebih
lanjut, dalam rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada
transaksi yang dilakukan melalui media internet yang lebih dikenal
dengan cyber law maka perlu segera dibuat Undang-Undang mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang
mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua
undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam
upaya mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah
kejahatan internet fraud.
Sumber
:
http://merrysarlita.blogspot.com/